Selasa, 12 Juni 2012

LAWANG SEWU


LAWANG SEWU
Lawang Sewu merupakan sebuah gedung di SemarangJawa Tengah yang merupakan kantor dariNederlands-Indische Spoorweg Maatschappij atau NIS. Dibangun pada tahun 1904 dan selesai pada tahun 1907. Terletak di bundaran Tugu Muda yang dahulu disebut Wilhelminaplein.
Masyarakat setempat menyebutnya Lawang Sewu (Seribu Pintu) dikarenakan bangunan tersebut memiliki pintu yang sangat banyak. Kenyataannya, pintu yang ada tidak sampai seribu. Bangunan ini memiliki banyak jendela yang tinggi dan lebar, sehingga masyarakat sering menganggapnya sebagai pintu (lawang).
Bangunan kuno dan megah berlantai dua ini setelah kemerdekaan dipakai sebagai kantor Djawatan Kereta Api Repoeblik Indonesia (DKARI) atau sekarang PT Kereta Api Indonesia. Selain itu pernah dipakai sebagai Kantor Badan Prasarana Komando Daerah Militer (Kodam IV/Diponegoro) dan Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Perhubungan Jawa Tengah. Pada masa perjuangan gedung ini memiliki catatan sejarah tersendiri yaitu ketika berlangsung peristiwa Pertempuran lima hari di Semarang (14 Oktober - 19 Oktober 1945). Gedung tua ini menjadi lokasi pertempuran yang hebat antara pemuda AMKA atau Angkatan Muda Kereta Api melawan Kempetai dan KidobutaiJepang. Maka dari itu Pemerintah Kota Semarang dengan Surat Keputusan Wali Kota Nomor. 650/50/1992, memasukan Lawang Sewu sebagai salah satu dari 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
SEJARAH BANGUNAN LAWANG SEWU
Lawang Sewu adalah salah satu bangunan bersejarah yang dibangun oleh pemerintahan kolonial Belanda, pada 27 Februari 1904. Awalnya bangunan tersebut didirikan untuk digunakan sebagai Het Hoofdkantoor van de Nederlansch Indische Spoorweg Maatscappij (NIS) atau Kantor Pusat Perusahan Kereta Api Swasta NIS. Sebelumnya kegiatan administrasi perkantoran NIS dilakukan di Stasiun Samarang NIS. Namun pertumbuhan jaringan perkeretaapian yang cukup pesat, dengan sendirinya membutuhkan penambahan jumlah personel teknis dan bagian administrasi yang tidak sedikit seiring dengan meningkatnya aktivitas perkantoran. Salah satu akibatnya kantor pengelola di Stasiun Samarang NIS menjadi tidak lagi memadai. NIS pun menyewa beberapa bangunan milik perseorangan sebagai jalan keluar sementara. Namun hal tersebut dirasa tidak efisien. Belum lagi dengan keberadaan lokasi Stasiun Samarang NIS yang terletak di kawasan rawa-rawa hingga urusan sanitasi dan kesehatan pun menjadi pertimbangan penting. Kemudian diputuskan untuk membangun kantor administrasi di lokasi baru. Pilihan jatuh ke lahan yang pada masa itu berada di pinggir kota berdekatan dengan kediaman Residen. Letaknya di ujung Bodjongweg Semarang (sekarang Jalan Pemuda), di sudut pertemuan Bodjongweg dan Samarang naar Kendalweg (jalan raya menuju Kendal). NIS mempercayakan rancangan gedung kantor pusat NIS di Semarang kepada Prof. Jacob F. Klinkhamer (TH Delft) dan B.J. Ouendag, arsitek yang berdomisili di Amsterdam. Seluruh proses perancangan dilakukan di Negeri Belanda, baru kemudian gambar-gambar dibawa ke kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawang Sewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada tahun 1903. Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangi di Amsterdam tahun 1903.
MISTERI-MISTERI LAWANG SEWU
Membuat sawab sekitar mudah dimasuki oleh lelembut maupun makhluk gaib dari alam maya. Sayangnya, pemerintah setempat sekarang kurang peka terhadap keberadaan gedung tua ini. Bangunan Lawang Sewu dianggap tak ubahnya barang rongsok yang tidak ada gunanya. Terkesan kumuh dan kotor, bahkan kalau malam sama sekali tidak ada penerangan di dalam gedung. Mungkin karena telantar membuat bangunan ini bertambah angker. Seperti wingit hingga kalau malam hari tidak ada orang yang berani lewat di depat gedung. Apalagi, sampai berani masuk ke halaman Lawang Sewu. Hanya Soeranto semata yang sudah bertahun- tahun tinggal di pelataran gedung Lawang Sewu. Selama itu pula, Soeranto mengaku sudah tidak terhitung lagi berapa kali dia mengalami kejadian- kejadian aneh jika malam hari. Aneka rupa dan bentuk makhluk gaib menunggu gedung sudah pernah dia pergoki. Sejauh itu, berkat pengabdian Soeranto untuk menjaga gedung, dia tidak pernah gentar menghadapi lelembut penghuni setempat. “Macam-macam wujud jelmaan penunggu sini (Lawang Sewu, red) pernah saya temui. Mulai wujudnya yang seram, begis, sampai yang lucu- lucu,” aku Soeranto. Sampai-sampai mengenai prilaku para lelembut setempat Soeranto sangat hafal betul. Termasuk ketika akan memunculkan bentuk aslinya, ada tanda-tanda khusus yang lebih dulu disampaikan para lelembut. “Biasanya ada yang diawali dengan hembusan angin agak kencang, semilir, sampai ada yang mengeluarkan bau-bauan. Ada yang bau wangi, bau menyan, bahkan ada yang mengeluarkan bau agak busuk,” tandasnya. Kemunculan makhluk halus ditengarai adalah arwah tentara Belanda dan Jepang itu masing- masing punya daerah kekuasaan sendiri-sendiri. Seperti di pintu depan paling barat, menurut Soeranto disitu diperkirakan dikuasai oleh sosok hantu tentara Belanda. Setiap kali muncul lelembut yang dicurigai sebagai arwah orang Belanda ini selalu mengenakan pakaian seragam serdadu lengkap dengan senapan laras panjang. Ada yang berada di pintu belakang paling timur. Termasuk menempati beberapa pintu kamar, dan ruang di lantai dua. Lain lagi di salah satu ruang paling depan yang ditengarai dulunya menjadi pos penjagaan tentara, di sekitar tempat itu dikuasai oleh sosok lelembut yang berwujud serdadu Jepang. Khusus makhluk gaib yang satu ini, menurut Soeranto terlihat bengis dan kejam. Kumisnya panjang melintang dengan ke mana-mana selalu membawa sebilah samurai panjang. Meski berbeda wilayah kekuasaan, tidak pernah ada kejadian keributan atau semacam pertanda adanya ontran-ontran di alam gaib antar penunggu Lawang Sewu itu. Semua selalu tenang, dan kemunculannya pun selalu pada tempat yang sama. Tidak berebutan. Mungkin saja karena sosok-sosok itu sering kali muncul dan bertemu dengan Soeranto, hingga kesannya sangat akrab. “Cuma kalau berdialog langsung dengan mereka belum pernah. Di samping saya sendiri tidak mengerti bahasa mereka,” aku Soeranto kepada METEOR. Paling mendebarkan menurut Soeranto, tiap malam Jumat Kliwon arwah-arwah setempat sering kali menampakkan wujud aslinya. Mereka bergentayangan, bermunculan, hingga membuat suasana malam seperti ramai orang-orang bercengkerama. Cuma paling menakutkan lagi, adalah jeritan-jeritan suara perempuan dari dalam gedung. Diperkirakan jeritan itu berasal dari jerit nonik-nonik Belanda. Bahkan, setiap muncul jeritan pasti disusul suara derap sepatu lars tentara Belanda dan Jepang. Sepertinya arwah mereka kompak, namun suara jeritan itu diperkirakan jeritan noni Belanda yang ketakutan ketika melihat aksi pembantaian Jepang terhadap tentara Belanda. Konon, banyak tentara Belanda yang tewas disembelih tentara Jepang. Sehingga suara jeritan itu kadang disusul jeritan tentara Belanda yang kesakitan. Sementara jika mendongakkan kepala ke atas gedung, nampak ada sebuah tondon air yang dulunya difungsikan untuk menyimpan air bersih. Sedangkan di sekitarnya, tepatnya di depan halaman gedung ada sebuah sumur tua yang setiap harinya selalu dikunci rapat-rapat. Bentuk sumur tersebut temboknya meninggi dari dasar tanah dan diberi atap genting warna merah. Di situlah paling sering terdengar tangisan nonik- nonik Belanda dan Jepang. Namun, dari sekian banyaknya mahkluk halus yang menjaga gedung lawang sewu tersebut, menurut beberapa paranormal asal Semarang tidak akan mengganggu masyarakat apabila nekad masuk ke dalam gedung. “Dulu ada paranormal yang menerawang penghuni sini. Katanya, jumlah mereka sekitar 50 makhluk halus,” imbuhnya. Sejak didirikan ratusan tahun lalu, gedung spektakuler peninggalan pemerintahan Belanda macam Lawang Sewu Semarang masih tetap menyimpan misteri. Sudah berulang kali orang menyingkap misteri di balik kemegahan gedung bersejarah ini. Namun, sejauh itu masih ada misteri lain yang tersisa, seiring perjalanan umur bangunan yang semakin tua. Berikut ini wartawan METEOR melaporkan sepenggal misteri yang tersisa dari Lawang Sewu itu. Ibarat buah kelapa makin tua makin banyak santan yang dibutuhkan oleh manusia. Tidak lebih ungkapan tersebut sama pula dengan keberadaan gedung tua peninggalan Belanda macam Lawang Sewu. Makin tua umur bangunan yang berlokasi di depan Tugu Muda, Pandanaran Semarang ini, legenda yang menyelimuti makin banyak dipuji masyarakat. Wajar sebagai gedung bersejarah, Lawang Sewu semakin makin dipandang sebagai gedung berharga, berkat keantikannya. Tak heran sampai sekarang ini, gedung yang nampaknya kurang mendapat perhatian dari Pemkot Semarang ini, dalam percaturannya masih menjadi rebutan antar para investor dan pengusaha baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Bahkan, antar pengusaha sekitar Semarang sendiri saling berebutan untuk bisa memenangkan tender mengelola gedung kuno ini. Menurut kabar yang tersebar pada pekembangan nantinya gedung yang memiliki luas sekitar 0,50 hektar ini akan dijadikan hotel berbintang lima. Kabar yang santer terdengar, anak mantan presiden Soeharto, Bambang Triatmojo pernah berambisi membeli gedung milik negara ini untuk disulap menjadi hotel berbintang. Hanya saja, belum sampai impiannya terlaksana, keburu Soeharto lengser dan keinginannya itu pun sirna. “Semenjak itu, sampai sekarang belum ada yang menawar lagi. Bangunan ini dibiarkan kosong dan terlantar. Kami tidak tahu mau dijadikan apa bangunan megah ini,” ujar Soeranto, 50 tahun, salah seorang penghuni gedung Lawang Sewu kepada METEOR. Dari situ Soeranto lantas menceritakan panjang lebar mengenai sejarah dan asal-usul berdirinya gedung Lawang Sewu. Memang jika ditilik dari sejarahnya gedung ini sangatlah legendaris. Maklum sudah beberapa priode pemerintahan dan jawatan pernah menempati gedung yang dikenal sangat angker ini. Sekilas pandangan Soeranto menerawang, lalu menurut penuturannya, Lawang Sewu tersebut merupakan salah satu gedung peninggalan Belanda yang diarsiteki oleh Prof Klinkkaner dan Quendagg. Dibangun dan sekaligus berdiri sekitar tahun 1863. Setelah itu gedung ini pada tanggal 27 Agustus 1913 ditempati oleh para tentara Belanda, hanya saja tidak berlangsung lama. Sebab, setelah itu Belanda menyerah terhadap Jepang Baru kemudian penguasaan gedung berlalih ke tangan pemerintahan Jepan baik secara administratif maupun secara perekonomian selama 3,5 tahun. Sampai kemudian bangsa Indonesia melakukan perlawanan dengan melakukan perang bersenjata melawan tentara Jepang di kawasan Tugu Muda yang dikenal dengan sebutan 5 Jam di Semarang. Sekitar tahun 1950, tutur Soeranto, gedung tua tersebut ditempati oleh TNI-AD dibawah pimpinan Panglima Gatot Subroto. Dan, paling terakhir yang menempati adalah jawatan PT Kereta Api Jawa Tengah. Bahkan, saat itu fungsi gedung sempat dijadikan sebagai kantor wilayah Departemen Perhubungan Jateng. Hingga akhirnya gedung Lawang sewu tersebut benar-benar kosong mulai sekitar tahun 1996 sampai sekarang. Ibarat orang yang sedang mati suri. Kondisi gedung Lawang Sewu tiap harinya sepi dari kegiatan apapun. Tidak ada lagi aktivitas ramai seperti tahun-tahun silam. Belum lagi akibat tidak pernah mendapat perhatian, keadaan sekitar gedung menjadi kotor dan kumuh. Tembok bangunan yang gempal mulai mengelupas catnya. Areal sekitar gedung nampak ditumbuhi semak belukar dan ilalang. Ketika METEOR mencoba membuka daun pintu di salah satu kamar yang ada di dalam gedung tersebut, mendadak daun pintu terbuat dari kayu itu rapuh dan patah lantaran ditekan ke dalam. Aneh memang, ternyata bagian dalam gedung tersebut banyak sekali pintu-pintu yang bahannya terbuat dari kayu jati. Kendati demikian pintu yang berjumlah sekitar seribu itu tidak lagi mempunyai kekuatan. Hanya masih menyimpan sebuah kenangan misteri jika sewaktu-waktu pintu salah satu kamar Lawang Sewu dibuka. Maka akan menimbulkan suara menderit yang khas. Suaranya menggema di tengah kesunyian bagian dalam gedung. Seperti mengundang arwah gentayangan yang ada di dalamnya. Sementara kalau malam hari bagian dalam gelap gulita, lantaran tidak ada satu pun lampu penerangan yang dipasang oleh pemerintah kota Semarang sekarang. Benar-benar Lawang Sewu tidak lagi pernah diperhatikan pemerintah. Masih untung ada orang berjiwa patriotik yang rela menjaga dan tinggal di dalam gedung Lawang Sewu, seperti Soeranto juga pensiunan TNI-AD ini. Diakui Soeranto sebenarnya, tinggal di dalam Lawang Sewu sangat teduh. Asri dan bisa mengenang kejayaan masa pemerintahan Belanda. “Namun mungkin karena tempat ini sangat angker sehingga tidak ada yang berani tinggal di sini. Orang akan menjadikan tempat ini sebagai kantor atau hotel tentunya harus berpikiran yang jernih,” ungkapnya. Untuk kembali “mencerahkan” Lawang Sewu, dimulai dari tahun 2009, PT. KAI dengan bantuan dari beberapa pihak yang tekait, memugar bangunan yang letaknya berdekatan dengan Tugu Muda ini. Setelah sekitar satu tahun pemugaran, tepatnya pada Selasa, 5 Juli 2011, Ibu Negara Republik Indonesia, Ani Bambang Yudhoyono meresmikan purna pugar Gedung A Lawang Sewu. Bersamaan dengan acara Peresmian purna pugar Lawang Sewu, Ibu Negara juga sekaligus membuka acara “Kriya Nusantara dalam Gerbong Lawang Sewu”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar