Sejarah
Kota
Pontianak adalah ibu kota Provinsi Kalimantan
Barat di Indonesia. Kota ini juga dikenal dengan nama 坤甸 (Pinyin: Kūndiān) oleh etnis Tionghoa di
Pontianak.
Kota ini
dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis lintang nol
derajat bumi. Di utara kota ini, tepatnya Siantan, terdapat Tugu
Khatulistiwa yang dibangun pada tempat yang dilalui garis lintang nol
derajat bumi. Selain itu, Kota Pontianak juga dilalui Sungai
Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia dan Sungai Landak. Sungai Kapuas
dan Sungai Landak yang membelah kota disimbolkan di dalam logo Kota Pontianak.
]Asal Nama
Nama
Pontianak dipercaya ada kaitannya dengan kisah Syarif Abdurrahman yang sering
diganggu oleh hantu Kuntilanak ketika
beliau menyusuri Sungai Kapuas. Menurut ceritanya, Syarif Abdurrahman terpaksa
melepaskan tembakan meriamuntuk mengusir hantu itu sekaligus menandakan di mana
meriam itu jatuh, maka di sanalah wilayah kesultanannya didirikan. Peluru
meriam itu jatuh di dekat persimpang Sungai Kapuas dan Sungai Landak, yang kini
dikenal dengan nama Kampung Beting.
Sejarah
Masa
Pendirian
Kota
Pontianak didirikan oleh Syarif Abdurrahman Alkadrie pada
hari Rabu, 23 Oktober 1771 (14 Rajab
1185 H) yang ditandai dengan membuka hutan di persimpangan Sungai Landak,
Sungai Kapuas Kecil, dan Sungai Kapuas Besar untuk mendirikan balai dan rumah
sebagai tempat tinggal. Pada tahun 1778 (1192 H), Syarif Abdurrahman dikukuhkan
menjadi Sultan Pontianak. Letak pusat pemerintahan
ditandai dengan berdirinya Masjid Jami' (kini bernama Masjid Sultan Syarif
Abdurrahman) dan Istana Kadariah yang sekarang terletak di Kelurahan Dalam
Bugis, Kecamatan Pontianak Timur.
Sejarah
Pendirian Menurut VJ. Verth
Sejarah
pendirian kota Pontianak yang dituliskan oleh seorang sejarawan Belanda, VJ. Verth dalam bukunya Borneos
Wester Afdeling, yang isinya sedikit berbeda dari versi cerita yang beredar
di kalangan masyarakat saat ini.
Menurutnya,
Belanda mulai masuk ke Pontianak tahun 1194 Hijriah (1773 Masehi) dari Batavia. Verth
menulis bahwa Syarif Abdurrahman, putra ulama Syarif
Hussein bin Ahmed Alqadrie (atau dalam versi lain disebut sebagai Al
Habib Husin), meninggalkanKerajaan
Mempawah dan mulai merantau. Di wilayah Banjarmasin,
ia menikah dengan adik sultan. Ia berhasil dalam perniagaan dan mengumpulkan
cukup modal untuk mempersenjatai kapal pencalang dan perahu lancangnya,
kemudian ia mulai melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda.
Dengan
bantuan Sultan Pasir, Syarif Abdurrahman kemudian berhasil
membajak kapal Belanda di dekat Bangka, juga kapal Inggris dan Perancis di
Pelabuhan Passir. Abdurrahman menjadi seorang kaya dan kemudian mencoba mendirikan
pemukiman di sebuah pulau di Sungai Kapuas. Ia menemukan percabangan Sungai
Landak dan kemudian mengembangkan daerah itu menjadi pusat perdagangan yang
makmur. Wilayah inilah yang kini bernama Pontianak.
Kolonialisme
Belanda dan Jepang
Pada tahun 1778, kolonialis Belanda dari Batavia memasuki
Pontianak dengan dipimpin oleh Willem Ardinpola. Belanda
saat itu menempati daerah di seberang istana kesultanan yang kini dikenal
dengan daerah Tanah Seribu atau Verkendepaal.
Pada tanggal
5 Juli 1779, Belanda membuat perjanjian dengan Sultan mengenai penduduk Tanah
Seribu agar dapat dijadikan daerah kegiatan bangsa Belanda yang kemudian
menjadi kedudukan pemerintahan Resident het Hoofd Westeraffieling van
Borneo (Kepala Daerah Keresidenan Borneo Barat) dan Asistent
Resident het Hoofd der Affleeling van Pontianak (Asisten Residen
Kepala Daerah Kabupaten Pontianak). Area ini selanjutnya menjadi Controleur
het Hoofd Onderafdeeling van Pontianak atau Hoofd Plaatselijk
Bestuur van Pontianak.
Assistent
Resident het Hoofd der Afdeeling van Pontianak (semacam Bupati Pontianak)
mendirikan Plaatselijk Fonds. Badan ini mengelola eigendom atau
kekayaan Pemerintah dan mengurus dana pajak. Plaatselijk Fonds kemudian
berganti nama menjadi Shintjo pada masa kependudukan Jepang di
Pontianak.
Masa Stadsgemeente
Berdasarkan besluit Pemerintah
Kerajaan Pontianak tanggal 14 Agustus 1946 No. 24/1/1940 PK yang disahkan
menetapkan status Pontianak sebagai stadsgemeente. R. Soepardan ditunjuk
menjadi syahkota atau pemimpin kota saat itu. Jabatan
Soepardan berakhir pada awal tahun 1948 dan kemudian
digantikan oleh Ads. Hidayat.
Masa
Pemerintahan Kota
Pembentukan stadsgerneente bersifat
sementara, maka Besluit Pemerintah Kerajaan Pontianak diubah
dan digantikan dengan Undang-undang Pemerintah Kerajaan Pontianak tanggal 16
September 1949 No. 40/1949/KP. Dalam undang-undang ini disebut Peraturan
Pemerintah Pontianak dan membentuk Pemerintah kota Pontianak, sedangkan
perwakilan rakyat disebut Dewan Perwakilan Penduduk Kota Pontianak. Walikota
pertama ditetapkan oleh Pemerintah Kerajaan Pontianak adalah Rohana Muthalib.
Masa Kota
Praja
Sesuai
dengan perkembangan tata pemerintahan, maka dengan Undang-undang Darurat Nomor
3 Tahun 1953, bentuk PemerintahanLandschap Gemeente, ditingkatkan
menjadi kota praja Pontianak. Pada
masa ini urusan pemerintahan terdiri dari Urusan Pemerintahan Umum dan Urusan
Pemerintahan Daerah.
Masa
Kotamadya dan Kota
Pemerintah
Kota Praja Pontianak diubah dengan berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1957,
Penetapan Presiden No.6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1960,
Instruksi Menteri Dalam Negeri No.9 Tahun 1964 dan Undang-undang No. 18 Tahun
1965, maka berdasarkan Surat Keputusan DPRD-GR Kota Praja Pontianak No.
021/KPTS/DPRD-GR/65 tanggal 31 Desember 1965, nama Kota Praja Pontianak diganti
menjadi Kotamadya Pontianak, kemudian dengan Undang-undang No.5 Tahun 1974,
nama Kotamadya Pontianak berubah menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Pontianak.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintah di Daerah mengubah sebutan untuk Pemerintah Tingkat II Pontianak menjadi
sebutan Pemerintah Kota Pontianak, sebutan Kotamadya Potianak diubah kemudian
menjadi Kota Pontianak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar